Kamis, 14 Februari 2013
Sejarah Ke Khalifahan Islam
Sejarah Ke Khalifahan Islam
Abu Bakar menunjuk Umar sebagai
penggantinya sebelum kematiannya, dan untungnya, komunitas muslim
menerima hal ini. Pengganti Umar, Utsman bin Affan, dipilih oleh dewan
perwakilan kaum muslim. tetapi kemudian, Utsman dianggap memimpin
seperti seorang "raja" dibandingkan sebagai seorang pemimpin yang
dipilih oleh rakyat. Utsman pun akhirnya terbunuh oleh seseorang dari
kelompok yang tidak puas. Ali kemudian diangkat oleh sebagian besar
muslim waktu itu di Madinah untuk menjadi khalifah, tetapi ia tidak
diterima oleh beberapa kelompok muslim. Dia menghadapi beberapa
pemberontakan dan akhirnya terbunuh setelah memimpin selama lima tahun.
Periode ini disebut sebagai "Fitna", atau perang sipil islam pertama.
Bani Umayyah
Salah satu kelompok penentang ˤAlī
adalah kelompok yang dipimpin oleh Gubernur Syam waktu itu Muawiyah bin
Abu Sufyan, yang juga sepupu Utsman. Setelah kematian Ali, Muawiyah
mengambil alih kekuasaan kekhalifahan. Dia kemudian dikenal dengan nama Muˤāwiyya, pendiri Bani Umayyah. Dibawah kekuasaan Muˤāwiyya, kekhalifahan dijadikan jabatan turun-menurun.
Di daerah yang sebelumnya berada di bawah kekuasaan Persia
dan Byzantium, bani Umayyah menurunkan pajak, memberikan otonomi daerah
dan kebebasan beragama yang lebih besar bagi umat Yahudi dan Kristen, dan berhasil menciptakan kedamaian di daerah tersebut setelah dilanda perang selama bertahun-tahun.
Dibawah kekuasaan Bani Umayyah, kekhalifahan Islam berkembang dengan
pesat. Di arah barat, umat Muslim menguasai daerah di Afrika Utara
sampai ke Spanyol. Di arah timur, kekhalifahan menguasai daerah Iran,
bahkan sampai ke India. Hal ini membuat Kekhalifahan Islam menjadi salah
satu di antara sedikit kekaisaran besar dalam sejarah.
Meskipun begitu, Bani Umayyah tidak sepenuhnya didukung oleh seluruh
umat Islam. Beberapa Muslim lebih mendukung tokoh muslim lainnya seperti
Ibnu Zubair; sisanya merasa bahwa hanya mereka yang berasal dari klan Nabi Muhammad,
Bani Hasyim, atau dari keturunan Ali (yang masih sekeluarga dengan
Nabi Muhammad), yang boleh memimpin. Akibatnya, timbul beberapa
pemberontakan selama masa kepemimpinan bani umayyah. Pada akhir
kekuasaannya, pendukung Bani Hasyim dan pendukung Ali bersatu untuk
meruntuhkan kekuasaan Umayyah pada tahun 750. Bagaimanapun, para
pendukung Ali lagi-lagi harus menelan kekecewaan ketika ternyata
pemimpin kekhalifahan selanjutnya adalah Bani Abbasiyah, yang merupakan
keturunan dari Abbas bin Abdul-Muththalib, paman Nabi Muhammad, bukan
keturunan Ali. Menanggapi kekecewaan ini, komunitas muslim akhirnya
terpecah menjadi komunitas Syiah dan Sunni.
Bani Abbasyiah
Bani Abbasiyah berhasil memegang kekuasaan kekhalifahan selama tiga
abad, mengkonsolidasikan kembali kepemimpinan gaya Islam dan menyuburkan
ilmu pengetahuan dan pengembangan budaya Timur Tengah. Tetapi pada
tahun 940 kekuatan kekhalifahan menyusut ketika orang-orang non-Arab,
khususnya orang Turki (dan kemudian diikuti oleh orang Mameluk
di Mesir pada pertengahan abad ke-13), mulai mendapatkan pengaruh dan
mulai memisahkan diri dari kekhalifahan. Meskipun begitu, kekhalifahan
tetap bertahan sebagai simbol yang menyatukan dunia Islam.
Pada masa pemerintahannya, Bani Abbasiyah mengklaim bahwa dinasti mereka tak dapat disaingi. Namun kemudian, Said bin Husain, seorang muslim Syi'ah dari Bani Fatimiyah yang mengaku bahwa anak perempuannya adalah keturunan Nabi Muhammad,
mengklaim dirinya sebagai Khalifah pada tahun 909, sehingga timbul
kekuasaan ganda di daerah Afrika Utara. Pada awalnya ia hanya menguasai
Maroko, Aljazair, Tunisia dan Libya. Namun kemudian, ia mulai memperluas
daerah kekuasaannya sampai ke Mesir dan Palestina, sebelum akhirnya
Bani Abbasyiah berhasil merebut kembali daerah yang sebelumnya telah
mereka kuasai, dan hanya menyisakan Mesir sebagai daerah kekuasaan Bani
Fatimiyyah. Dinasti Fatimiyyah kemudian runtuh pada tahun 1171.
Sedangkan Bani Ummayah bisa bertahan dan terus memimpin komunitas Muslim
di Spanyol, kemudian mereka mengkalim kembali gelar Khalifah pada tahun
929, sampai akhirnya dijatuhkan kembali pada tahun 1031.
Kekhalifahan "Bayangan"
Pada tahun 1258, pasukan Mongol di bawah pimpinan Hulagu Khan berhasil menguasai Baghdad, ibukota Kekhalifahan Abbasyiah, dan mengeksekusi Khalifah al-Mutasim. Tiga tahun kemudian, sisa-sisa Bani Abbasyiah membangun lagi sebuah kekhalifahan di Kairo, di bawah perlindungan Kesultanan Mameluk.
Meskipun begitu, otoritas garis keturunan para khalifah ini dibatasi
pada urusan-urusan upacara dan keagamaan, dan para sejarawan Muslim pada
masa-masa sesudahnya menyebut mereka sebagai "khalifah bayangan".
Kekaisaran Usmaniyah
Bersamaan dengan bertambah kuatnya Kesultanan Usmaniyah,
para pemimpinnya mulai mengklaim diri mereka sebagai Khalifah. Klaim
mereka ini kemudian bertambah kuat ketika mereka berhasil mengalahkan Kesultanan Mamluk
pada tahun 1517 dan menguasai sebagian besar tanah Arab. Khalifah
Abbasyiah terakhir di Kairo, Al-Mutawakkil III, dipenjara dan dikirim ke
Istambul. Kemudian, dia dipaksa menyerahkan kekuasaannya ke Selim I.
Walaupun begitu, banyak Kekaisaran Usmaniyah yang memilih untuk
menyebut diri mereka sebagai Sultan, daripada sebagai Khalifah. Hanya
Mehmed II dan cucunya, Selim, yang menggunakan gelar khalifah sebagai pengakuan bahwa mereka adalah pemimpin negara Islam.
Menurut Barthold, saat dimana gelar Khalifah digunakan untuk
kepentingan politik daripada sekedar simbol agama untuk pertama kalinya
adalah ketika Kekaisaran Usmaniyah membuat perjanjian damai dengan Rusia
pada tahun 1774. Sebelum perjanjian ini dibuat, Kekaisaran Usmaniyah
berperang dengan Kekaisaran Kristen Rusia, mengakibatkan kekaisaran
kehilangan sebagian besar wilayahnya, termasuk juga memiliki populasi
tinggi seperti misalnya daerah Crimea. Dalam surat perjanjian damai dengan Rusia, kekaisaran Usmaniyah, dibawah kepemimpinan Abdulhamid I,
menyatakan bahwa mereka akan tetap melindungi umat Islam yang berada
di wilayah yang kini menjadi wilayah Rusia. Ini adalah pertama kalinya
Kekhalifahan Usmaniyah diakui secara politik oleh kekuatan Eropa.
Sebagai hasilnya, meskipun wilayah kekuasaan Usmaniyah menjadi sempit
namun kekuatan diplomatik dan militer Usmaniyah semakin meningkat.
Sekitar tahun 1880 Sultan Abdulhamid II menegaskan kembali status
kekhalifahannya sebagai bentuk perlawanan terhadap kolonialisme Eropa
yang semakin menjadi-jadi. Klaimnya ini didukung sepenuhnya oleh Muslim
di India, yang ketika itu dalam cengkraman penjajahan Inggris. Pada
Perang Dunia I, Kekhalifahan Usmaniyah, dengan mengesampingkan betapa
lemahnya mereka dihadapan kekuatan Eropa, menjadi negara Islam yang
paling besar dan paling kuat di dunia.
Keruntuhan kekhalifahan
Tepatnya pada tanggal 23 Maret 1924, keruntuhan kekhalifahanan
terakhir, Kekhalifahan Turki Usmaniyah, terjadi akibat adanya
perseteruan di antara kaum nasionalis dan agamais dalam masalah kemunduran ekonomi Turki.
Setelah menguasai Istambul
pasca-Perang Dunia I, Inggris menciptakan sebuah kevakuman politik
dengan menawan banyak pejabat negara dan menutup kantor-kantor dengan
paksa sehingga bantuan khalifah dan pemerintahannya tersendat.
Kekacauan terjadi di dalam negeri, sementara opini umum mulai
menyudutkan pemerintahan khalifah yang semakin lemah dan memihak kaum
nasionalis. Situasi ini dimanfaatkan Mustafa Kemal Pasha
untuk membentuk Dewan Perwakilan Nasional - dan ia menobatkan diri
sebagai ketuanya - sehingga ada dua pemerintahan saat itu; pemerintahan
khilafah di Istambul dan pemerintahan
Dewan Perwakilan Nasional di Ankara. Walau kedudukannya tambah kuat,
Mustafa Kemal Pasha belum berani membubarkan khilafah. Dewan Perwakilan
Nasional hanya mengusulkan konsep yang memisahkan khilafah dengan
pemerintahan. Namun, setelah perdebatan panjang di Dewan Perwakilan
Nasional, konsep ini ditolak. Pengusulnya pun mencari alasan
membubarkan Dewan Perwakilan Nasional dengan melibatkannya dalam
berbagai kasus pertumpahan darah. Setelah memuncaknya krisis, Dewan
Perwakilan Nasional ini diusulkan agar mengangkat Mustafa Kemal Pasha
sebagai ketua parlemen, yang diharap bisa menyelesaikan kondisi kritis
ini.
Setelah resmi dipilih jadi ketua parlemen, Pasha mengumumkan
kebijakannya, yaitu mengubah sistem khilafah dengan republik yang
dipimpin seorang presiden yang dipilih lewat Pemilu.
Tanggal 29 November 1923, ia dipilih parlemen sebagai presiden pertama
Turki. Namun ambisinya untuk membubarkan khilafah saat itu, yang telah
lemah dan digerogoti korupsi, terintangi; Ia dianggap murtad, dan
beberapa kelompok pendukung Sultan Abdul Mejid II
terus berusaha mendukung pemerintahannya. Ancaman ini tak menyurutkan
langkah Mustafa Kemal Pasha. Malahan, ia menyerang balik dengan taktik
politik dan pemikirannya yang menyebut bahwa penentang sistem republik
ialah pengkhianat bangsa dan ia kemudian melakukan beberapa langkah
kontroversial untuk mempertahankan sistem pemerintahannya. Misalnya,
Khalifah digambarkan sebagai sekutu asing yang harus dienyahkan.
Setelah suasana negara kondusif, Mustafa Kemal Pasha mengadakan
sidang Dewan Perwakilan Nasional (yang kemudian disebut dengan
"Kepresidenan Urusan Agama" atau sering disebut dengan "Diyaniah"). Pada
tanggal 3 Maret 1924, ia memecat khalifah sekaligus membubarkan
sistem kekhalifahan dan menghapuskan hukum Islam dari negara. Hal
inilah yang kemudian dianggap sebagai keruntuhan kekhalifahan Islam.
Saat ini, Diyaniah berfungsi sebagai entitas dari lembaga Shaikh al-Islam/Kekhalifahan [1].
Mereka bertugas untuk: "memberikan pelayanan religius kepada orang
Turki dan Muslim di dalam dan di luar negara Turki". Diyainah memiliki
kantor pusat di Ankara, Turki.
Diyaniah adalah sebuah lembaga yang mewarisi semua sumber-sumber yang
berhubungan dengan hal-hal religius dari Kekaisaran Ottoman, termasuk
semua arsip kekhalifahan yang telah runtuh tersebut. Saat ini, Diyainah
merupakan otoritas tertinggi Muslim Sunni. Diyainah juga memiliki
kantor cabang di Eropa (Jerman).
Perbedaan utama antara kekhalifahan dengan Diyainah adalah Dinaiyah,
tidak seperti kekhalifahan yang mengurusi masalah negara, hanya
berfungsi sebagai lembaga keagamaan. Hal ini sesuai dengan prinsip
sekularisme Turki yang memisahkan urusan Agama dengan urusan negara.
Sempat muncul keinginan dan gerakan untuk mengendirikan kembali kekhalifahan setelah runtuhnya Kekaisaran Ottoman, tetapi tak ada satupun yang berhasil. Hussein bin Ali, seorang gubernur Hejaz pada masa Kekaisaran Ottoman yang pernah membantu Britania raya
pada masa Perang Dunia I serta melakukan pemberontakan terhadap
pemerintahan Istambul, mendeklarasikan dirinya sebagai khalifah dua
hari setelah keruntuhan Ottoman. Tetapi klaimnya tersebut ditolak, dan
tak lama kemudian ia di usir dari tanah Arab. Sultan Ottoman terakhir
Mehmed VI juga melakukan hal yang sama untuk mengangkat kembali dirinya
sebagai Khalifah di Hejaz, tetapi lagi-lagi usaha tersebut gagal.
Sebuah pertemuan diadakan di Kairo pada tahun 1926 untuk mendiskusikan
pendirian kembali kekhalifahan. Tetapi, hanya sedikit negara Muslim
yang berpartisipasi dan mengimplentasikan hasil dari pertemuan
tersebut.
sumber: http://www.kabarislam.com/sejarah-islam/sejarah-ke-khalifahan-islam
sumber: http://www.kabarislam.com/sejarah-islam/sejarah-ke-khalifahan-islam
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar