Kamis, 07 Februari 2013
sejarah islam di indonesia
Sejarah Islam di Indonesia
Islam adalah salah satu agama yang
memiliki jumlah pengikut terbanyak di dunia. Menurut sumber informasi
dari Wikipedia menyebutkan bahwa saat ini pengikut agama Islam telah
mencapai lebih dari 1,25 miliar orang yang tersebar di berbagai negara
di seluruh dunia.
Sejarah Islam sendiri dimulai semenjak diturunkannya wahyu Allah kepada
Nabi Muhammad SAW yang pertama pada tahun 622 di Gua Hira, yaitu
tepatnya pada malam lailatul qadar di bulan Ramadhan. Proses penerimaan
wahyu oleh Nabi Muhammad SAW sendiri berlangsung selama kurun waktu 23
tahun, yaitu mulai dari semenjak Nabi diutus menjadi Rasul pada usia 40
tahun, hingga beliau wafat pada usia 63 tahun
Kehidupan 23 tahun Nabi Muhammad setelah dipilih menjadi rasul
berlangsung di Makkah selama kurun waktu 13 tahun, sementara 10 tahun
sisianya Nabi tinggal di Madinah.
Menelisik sejarah Islam di Indonesia, maka hingga saat ini ada sekitar 6
pendapat tentang masuknya Islam ke Indonesia. Adapun pendapat-pendapat
tersebut menyebutkan tahun kedatangan Islam masuk ke Indonesia
bervariasi dari abad ke-7 hingga abad ke-13.
Berbagai pendapat-pendapat tentang tahun kedatangan Islam beserta
perkembangannya di Indonesia dikemukakan oleh berbagai tokoh dan
peneliti. Berikut ini adalah 6 pendapat tentang masuknya Islam ke
Indonesia.
Pendapat Pertama
Menurut pendapat Hamka, yaitu salah seorang tokoh Muhammadiyah dan juga
mantan ketua MUI periode 1977-1981, menyebutkan bahwa Islam yang masuk
dan berkembang di Indonesia berasal dari Jazirah Arab atau bahkan dari
Makkah pada abad ke-7. Hamka yang bernama asli Haji Abdul Malik bin
Abdil Karim menyatakan pendapat tentang kedangan dan perkembangan Islam
di Indonesia berdasarkan fakta bahwa mazhab yang berkembang di Indonesia
adalah mazhab Syafi'i.
Menurut Hamka, mahzab Syafi'i berkembang sekaligus dianut oleh penduduk di sekitar Makkah. Selain itu dia juga menyebutkan bahwa fakta tentang yang tidak boleh diabaikan terkait hal ini, yaitu tentang keberadaan orang-orang Arab yang sudah mampu berlayar mencapai Cina pada abad ke-7. Hamka percaya bahwa dalam perjalanan tersebut, para pelayar dari Arab juga sudah mulai singgah di kepulauan Nusantara.
Menurut Hamka, mahzab Syafi'i berkembang sekaligus dianut oleh penduduk di sekitar Makkah. Selain itu dia juga menyebutkan bahwa fakta tentang yang tidak boleh diabaikan terkait hal ini, yaitu tentang keberadaan orang-orang Arab yang sudah mampu berlayar mencapai Cina pada abad ke-7. Hamka percaya bahwa dalam perjalanan tersebut, para pelayar dari Arab juga sudah mulai singgah di kepulauan Nusantara.
Pendapat Kedua
Seorang pegawai Belanda pada masa pemerintahan kolonial Belanda bernama
Poortman menyimpulkan bahwa Islam dibawa dan disebarkan di Indonesia
oleh orang-orang Cina yang bermahzab Hanafi.
Kesimpulan tentang sejarah masuknya Islam di Indonesia oleh Poortman tersebut didapatkan dari penelitiannya terhadap naskah Babad Tanah Jawi dan Serat Kanda. Selain dari penelitian dari kedua naskah tersebut dia juga telah melanjutkan penelitian terhadap naskah-naskah kuno Cina yang tersimpan di klenteng-klenteng Cina di Cirebon dan Semarang.
Adapun hasil penelitian dari Poortman tersebut disimpan dengan keterangan 'Uitsluiten voor Dienstgebruik ten Kantore' yang berarti 'Sangat Rahasia Hanya Boleh Digunakan di Kantor'. Hasil penelitian Poortman itu sendiri saat ini telah disimpan di Gedung Arsip Negara Belanda di Den Haag.
Kesimpulan tentang sejarah masuknya Islam di Indonesia oleh Poortman tersebut didapatkan dari penelitiannya terhadap naskah Babad Tanah Jawi dan Serat Kanda. Selain dari penelitian dari kedua naskah tersebut dia juga telah melanjutkan penelitian terhadap naskah-naskah kuno Cina yang tersimpan di klenteng-klenteng Cina di Cirebon dan Semarang.
Adapun hasil penelitian dari Poortman tersebut disimpan dengan keterangan 'Uitsluiten voor Dienstgebruik ten Kantore' yang berarti 'Sangat Rahasia Hanya Boleh Digunakan di Kantor'. Hasil penelitian Poortman itu sendiri saat ini telah disimpan di Gedung Arsip Negara Belanda di Den Haag.
Pendapat Ketiga
Seorang penasehat di bidang bahasa-bahasa Timur dan hukum Islam untuk
pemerintah kolonial Belanda bernama Snouck Hurgronje yang mengambil
pendapat dari Pijnapel, yaitu seorang pakar dari Universitas Leiden,
Belanda yang sering meneliti artefak-artefak peninggalan Islam di
Indonesia, menyimpulkan bahwa Islam yang masuk ke Indonesia adalah
berasal dari Gujarat pada abad ke-12 M. Mereka menempuh jalur
perdagangan yang sudah terbentuk antara India dan Nusantara.
Pendapat ini juga dibenarkan oleh J.P. Moquette, yaitu seorang peneliti bentuk nisan kuburan raja-raja pasai, kuburan Sultan Malik Ash-Shalih, dan juga Nisan kuburan Maulana Malik Ibrahim di Gresik, Jawa Timur. Adapun hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa Nisan kuburan Maulana Malik Ibrahim di Gresik ternyata memiliki bentuk yang mirip dengan nisan-nisan kuburan yang berada di Cambay, Gurajat.
Pendapat ini juga dibenarkan oleh J.P. Moquette, yaitu seorang peneliti bentuk nisan kuburan raja-raja pasai, kuburan Sultan Malik Ash-Shalih, dan juga Nisan kuburan Maulana Malik Ibrahim di Gresik, Jawa Timur. Adapun hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa Nisan kuburan Maulana Malik Ibrahim di Gresik ternyata memiliki bentuk yang mirip dengan nisan-nisan kuburan yang berada di Cambay, Gurajat.
Pendapat Keempat
S.Q. Fatimi adalah salah seorang yang berpendapat tentang sejarah Islam
di Indonesia dan sekaligus menyanggah pendapat kedatangan Islam di
Indonesia yang dikemukakan oleh Muquette yang memperkuat pendapat
Pijnapel dan Hurgronje. Fatimi berpendapat bahwa nisan-nisan kuburan
yang ada di Aceh dan Gresik justru lebih mirip dengan bentuk nisan-nisan
dan kuburan yang ada di Benggala, sekitar Bangladesh sekarang.
Lebih lanjut Fatimu juga percaya bahwa pengaruh-pengaruh Islam di Benggala sangat banyak ditemui dalam Islam yang berkembang di Nusantara pada zaman dahulu. Oleh karena itu, Islam yang ada di Indonesia sebenarnya berasal dari Bangladesh.
Lebih lanjut Fatimu juga percaya bahwa pengaruh-pengaruh Islam di Benggala sangat banyak ditemui dalam Islam yang berkembang di Nusantara pada zaman dahulu. Oleh karena itu, Islam yang ada di Indonesia sebenarnya berasal dari Bangladesh.
Pendapat Kelima
G.E. Marrison juga seorang yang pernah mengemukakan pendapat tentang
keberadaan masuknya Islam ke Indonesia. Dalam pendapatnya tersebut
Marrison juga menyanggah pendapat Moquette, bahkan dia sendiri malah
yakin, jika Islam yang datang ke Indonesia berasal dari Pantai
Coromandel, India Selatan. Adapun sebagai alasannya adalah karena pada
abad ke-13M, Gujarat masih menjadi bagian dari kerajaan Hindu, sementara
di Pantai Coromandel, Islam telah berkembang.
Morrison juga memperkirakan bahwa pembawa dan penyebar Islam yang pertama masuk ke Indonesia adalah para Sufi dari India. Para Sufi tersebut menyebarkan Islam di Indonesia dengan pendekatan tasawwuf pada akhir abad ke-13 M, dimana waktu itu terhitung belum lama dari peristiwa penyerbuan Baghdad oleh orang-orang Mongol.
Adapun pernyerbuan yang dimaksud adalah penyerbuan yang memaksa banyak para Sufi keluar dari zawiyah-zawiyah mereka dan melakukan pengembaraan ke luar wilayah Bani Abbasiyah, seperti ke ujung Persia atau bahkan ke India.
Morrison juga memperkirakan bahwa pembawa dan penyebar Islam yang pertama masuk ke Indonesia adalah para Sufi dari India. Para Sufi tersebut menyebarkan Islam di Indonesia dengan pendekatan tasawwuf pada akhir abad ke-13 M, dimana waktu itu terhitung belum lama dari peristiwa penyerbuan Baghdad oleh orang-orang Mongol.
Adapun pernyerbuan yang dimaksud adalah penyerbuan yang memaksa banyak para Sufi keluar dari zawiyah-zawiyah mereka dan melakukan pengembaraan ke luar wilayah Bani Abbasiyah, seperti ke ujung Persia atau bahkan ke India.
Pendapat Keenam
Pendapat keenam tentang masuknya Islam ke Indonesia dikemukakan oleh
Hoesein Djajaningrat. Djajaningrat juga dikenal sebagai orang Indonesia
pertama yang mempertahankan disertasi di Universitas Leiden, Belanda,
pada 1913. Disertasinya tersebut berjudul Critische Beschouwing van de
Sadjarah Banten (Pandangan Kritis mengenai Sejarah Banten).
Menurut Djajaningrat, Islam yang masuk ke Indonesia berasal dari Persia. Adapun sebagai alasan Djajaningrat mengemukakan pendapat tersebut adalah berdasarkan peringatan 10 Muharram atau hari Asyura sebagai hari kematian Husein bin Ali bin Abi Thalib yang ada di Indonesia berasal dari perayaan kaum Syiah di Persia. Peringatan 10 Muharram itu lebih dikenal sebagai perayaan Hari Karbala.
Djajaningrat juga meyakini pendapat tersebut, karena pengaruh bahasa Persia juga masih dapat ditemukan dibeberapa tempat di Indonesia. Selain itu keberadaan Syeikh Siti Jenar dan Hamzah Fansuri dalam sejarah Indonesia menandakan adanya pengaruh ajaran wihdatul wujud Al-Hallaj, seorang Sufi ekstrim yang berasal dari Persia.
Menurut Djajaningrat, Islam yang masuk ke Indonesia berasal dari Persia. Adapun sebagai alasan Djajaningrat mengemukakan pendapat tersebut adalah berdasarkan peringatan 10 Muharram atau hari Asyura sebagai hari kematian Husein bin Ali bin Abi Thalib yang ada di Indonesia berasal dari perayaan kaum Syiah di Persia. Peringatan 10 Muharram itu lebih dikenal sebagai perayaan Hari Karbala.
Djajaningrat juga meyakini pendapat tersebut, karena pengaruh bahasa Persia juga masih dapat ditemukan dibeberapa tempat di Indonesia. Selain itu keberadaan Syeikh Siti Jenar dan Hamzah Fansuri dalam sejarah Indonesia menandakan adanya pengaruh ajaran wihdatul wujud Al-Hallaj, seorang Sufi ekstrim yang berasal dari Persia.
Kesimpulan
Terlihat berbagai perbedaan pendapat tentang sejarah masuknya Islam ke
Indonesia oleh berbagai tokoh dan juga para peneliti. Perbedaan pendapat
tersebut terjadi karena dasar-dasar berpikir yang dipakai dalam
membangun pendapat.
Pijnapel, Hurgronje, Marrison, Moquette, Fatimi lebih mempercayai bukti-bukti kongret yang masih bisa diyakini secara pasti, bukan perkiraan. Oleh sebab itu pendapat-pendapat mereka dapat dikatakan lebih logis, meski dapat juga menuntut mereka untuk percaya bahwa Islam pertama kali berkembang di Indonesia pada sekitar abad ke-13, yaitu lebih belakangan ketimbang agama Hindu dan Buddha.
Begitu juga dengan pendapat Residen Poortman. Meski pendapatnya tersebut berdasarkan catatan-catatan dari Cina yang tersimpan bertahun-tahun, tetapi masih ada kemungkinan salah tafsir atas pernyataan-pernytaan tertulis yang ada di dalamnya. Selain itu bisa pula ada kemungkinan adanya manipulasi data tanpa sepengetahuan pembaca.
Adapun pendapat Hamka bahkan akan lebih mudah untuk terjerumus ke dalam bentuk syak yang belum tentu bisa dibuktikan kebenarannya. Adapun pendapat yang dikemukakan oleh Hamka hanya berdasarkan pikiran-pikiran pribadi yang tidak ditunjang oleh data sejarah yang kongkret. Oleh demikian maka sangat kecil kemungkinan pendapatnya untuk benar.
Begitupula dengan pendapat Djajaningrat. Bisa jadi persamaan-persamaan yang dikemukakan dalam pendapatnya itu hanya kebetulan-kebetulan yang mirip pada objek.
Akan tetapi, hampir setiap pendapat itu memiliki konsekuensi. Jika seseorang memercayainya suatu pendapat dari pendapat-pendapat itu, maka, bagaimana pun, ia mesti menerima konsekuensi-konsekuensi yang kemungkinan bakalan ada.
Pijnapel, Hurgronje, Marrison, Moquette, Fatimi lebih mempercayai bukti-bukti kongret yang masih bisa diyakini secara pasti, bukan perkiraan. Oleh sebab itu pendapat-pendapat mereka dapat dikatakan lebih logis, meski dapat juga menuntut mereka untuk percaya bahwa Islam pertama kali berkembang di Indonesia pada sekitar abad ke-13, yaitu lebih belakangan ketimbang agama Hindu dan Buddha.
Begitu juga dengan pendapat Residen Poortman. Meski pendapatnya tersebut berdasarkan catatan-catatan dari Cina yang tersimpan bertahun-tahun, tetapi masih ada kemungkinan salah tafsir atas pernyataan-pernytaan tertulis yang ada di dalamnya. Selain itu bisa pula ada kemungkinan adanya manipulasi data tanpa sepengetahuan pembaca.
Adapun pendapat Hamka bahkan akan lebih mudah untuk terjerumus ke dalam bentuk syak yang belum tentu bisa dibuktikan kebenarannya. Adapun pendapat yang dikemukakan oleh Hamka hanya berdasarkan pikiran-pikiran pribadi yang tidak ditunjang oleh data sejarah yang kongkret. Oleh demikian maka sangat kecil kemungkinan pendapatnya untuk benar.
Begitupula dengan pendapat Djajaningrat. Bisa jadi persamaan-persamaan yang dikemukakan dalam pendapatnya itu hanya kebetulan-kebetulan yang mirip pada objek.
Akan tetapi, hampir setiap pendapat itu memiliki konsekuensi. Jika seseorang memercayainya suatu pendapat dari pendapat-pendapat itu, maka, bagaimana pun, ia mesti menerima konsekuensi-konsekuensi yang kemungkinan bakalan ada.
sumber: http://berita-terhangat.blogspot.com/2013/01/sejarah-islam-di-indonesia.html
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar