Kamis, 14 Februari 2013
Perbandingan kekhalifahan dengan sistem pemerintahan lain
Perbandingan kekhalifahan dengan sistem pemerintahan lain
Khalifah sangat berbeda dari sistem pemerintahan yang pernah ada di dunia, seperti disebutkan di bawah ini:
- Dalam kedudukan monarki, kedudukan raja diperoleh dengan warisan. Artinya, seseorang dapat menduduki jabatan raja hanya karena ia anak raja. Jabatan khalifah didapatkan dengan bai'at dari umat secara ikhlas dan diliputi kebebasan memilih, tanpa paksaan. Jika dalam sistem monarki raja memiliki hak istimewa yang dikhususkan bagi raja, bahkan sering raja di atas UU, maka seorang khalifah tak memiliki hak istimewa; mereka sama dengan rakyatnya. Khalifah ialah wakil umat dalam pemerintahan dan kekuasaan yang dibaiat buat menerapkan syariat Allah SWT atas mereka. Artinya, khalifah tetap tunduk dan terikat pada hukum islam dalam semua tindakan, kebijakan, dan pelayanan terhadap kepentingan rakyat.
- Dalam sistem republik, presiden bertanggung jawab kepada rakyat atau yang mewakili suaranya (misal: parlemen). Rakyat beserta wakilnya berhak memberhentikan presiden. Sebaliknya, seorang khalifah, walau bertanggung jawab pada umat dan wakilnya, mereka tak berhak memberhentikannya. Khalifah hanya dapat diberhentikan jika menyimpang dari hukum Islam, dan yang menentukan pemberhentiannya ialah mahkamah mazhalim. Jabatan presiden selalu dibatasi dengan periode tertentu, sebaliknya, seorang khalifah tak memiliki masa jabatan tertentu. Batasannya, apakah ia masih melaksanakan hukum Islam atau tidak. Selama masih melaksanakannya, serta mampu menjalankan urusan dan tanggung jawab negara, maka ia tetap sah menjadi khalifah.
Argumentasi tentang Pentingnya Khalifah
Dalil al-Qur'an tentang Khalifah
Di dalam al-Quran memang tidak terdapat istilah Daulah yang berarti negara. Tetapi di dalam al-Quran terdapat ayat yang menunjukkan wajibnya umat memiliki pemerintahan/negara (ulil amri) dan wajibnya menerapkan hukum dengan hukum-hukum yang diturunkan Allah SWT. Allah SWT berfirman:
- Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kalian kepada Rasul-Nya dan ulil amri di antara kalian. (Qs. An-Nisaa` [4]: 59).
Ayat di atas telah memerintahkan kita untuk menaati Ulil Amri, yaitu Al Hakim (Penguasa). Perintah ini, secara dalalatul iqtidha,
berarti perintah pula untuk mengadakan atau mengangkat Ulil Amri itu,
seandainya Ulil Amri itu tidak ada, sebab tidak mungkin Allah
memerintahkan kita untuk menaati pihak yang eksistensinya tidak ada.
Allah juga tidak mungkin mewajibkan kita untuk menaati seseorang yang
keberadaannya berhukum mandub.
Maka menjadi jelas bahwa mewujudkan ulil amri adalah suatu perkara
yang wajib. Tatkala Allah memberi perintah untuk mentaati ulil amri,
berarti Allah memerintahkan pula untuk mewujudkannya. Sebab adanya ulil
amri menyebabkan terlaksananya kewajipan menegakkan hukum syara’,
sedangkan mengabaikan terwujudnya ulil amri menyebabkan terabaikannya
hukum syara’. Jadi mewujudkan ulil amri itu adalah wajib, karena kalau
tidak diwujudkan akan menyebabkan terlanggarnya perkara yang haram,
yaitu mengabaikan hukum syara’ (tadhyii’ al hukm asy syar’iy).
Di samping itu, Allah SWT telah memerintahkan Rasulullah SAW untuk
mengatur urusan kaum muslimin berdasarkan hukum-hukum yang diturunkan
Allah SWT. Firman Allah SWT:
- Maka putuskanlah perkara di antara di antara mereka dengan apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka (dengan) meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. (Qs. Al-Maa’idah [5]: 48).
- Dan putuskanlah perkara di antara di antara mereka dengan apa yang diturunkan Allah dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka supaya mereka tidak memalingkan kamu dari apa yang telah diturunkan Allah kepadamu (Qs. Al-Maa’idah [5]: 49).
Dalam kaidah usul fiqh dinyatakan bahwa, perintah (khitab)
Allah kepada Rasulullah juga merupakan perintah kepada umat Islam selama
tidak ada dalil yang mengkhususkan perintah ini hanya untuk Rasulullah
(Khitabur rasuli khithabun li ummatihi malam yarid dalil yukhashishuhu bihi). Dalam hal ini tidak ada dalil yang mengkhususkan perintah tersebut hanya kepada Rasulullah SAW.
Oleh karena itu, ayat-ayat tersebut bersifat umum, yaitu berlaku pula
bagi umat Islam. Dan menegakkan hukum-hukum yang diturunkan Allah,
tidak mempunyai makna lain kecuali menegakkan hukum dan pemerintahan
(as-Sulthan), sebab dengan pemerintahan itulah hukum-hukum yang
diturunkan Allah dapat diterapkan secara sempurna. Dengan demikian,
ayat-ayat ini menunjukkan wajibnya keberadaan sebuah negara untuk
menjalankan semua hukum Islam, iaitu negara Khilafah.
Dalil as-Sunnah tentang Khalifah
- Abdullah bin Umar meriwayatkan, "Aku mendengar Rasulullah mengatakan, ‘Barangsiapa melepaskan tangannya dari ketaatan kepada Allah, niscaya dia akan menemui Allah di Hari Kiamat dengan tanpa alasan. Dan barangsiapa mati sedangkan di lehernya tak ada bai’at (kepada Khalifah) maka dia mati dalam keadaan mati jahiliyah." [HR. Muslim].
- Nabi SAW mewajibkan adanya bai’at pada leher setiap muslim dan menyifati orang yang mati dalam keadaan tidak berbai’at seperti matinya orang-orang jahiliyyah. Padahal bai’at hanya dapat diberikan kepada Khalifah, bukan kepada yang lain. Jadi hadis ini menunjukkan kewajiban mengangkat seorang Khalifah, yang dengannya dapat terwujud bai’at di leher setiap muslim. Sebab bai’at baru ada di leher kaum muslimin kalau ada Khalifah/Imam yang memimpin Khilafah.
- Rasulullah SAW bersabda: "Bahwasanya Imam itu bagaikan perisai, dari belakangnya umat berperang dan dengannya umat berlindung." [HR. Muslim]
- Rasulullah SAW bersabda: "Dahulu para nabi yang mengurus Bani Israil. Bila wafat seorang nabi diutuslah nabi berikutnya, tetapi tidak ada lagi nabi setelahku. Akan ada para Khalifah dan jumlahnya akan banyak. Para Sahabat bertanya,’Apa yang engkau perintahkan kepada kami? Nabi menjawab,’Penuhilah bai’at yang pertama dan yang pertama itu saja. Penuhilah hak-hak mereka. Allah akan meminta pertanggungjawaban terhadap apa yang menjadi kewajiban mereka." [HR. Muslim].
- Rasulullah SAW bersabda: "Bila seseorang melihat sesuatu yang tidak disukai dari amirnya (pemimpinnya), maka bersabarlah. Sebab barangsiapa memisahkan diri dari penguasa (pemerintahan Islam) walau sejengkal saja lalu ia mati, maka matinya adalah mati jahiliyah." [HR. Muslim].
Hadis pertama dan kedua merupakan pemberitahuan (ikhbar)
dari Rasulullah SAW bahawa seorang Khalifah adalah laksana perisai, dan
bahawa akan ada penguasa-penguasa yang memerintah kaum muslimin.
Pernyataan Rasulullah SAW bahawa seorang Imam itu laksana perisai
menunjukkan pemberitahuan tentang adanya faedah-faedah keberadaan
seorang Imam, dan ini merupakan suatu tuntutan (thalab). Sebab, setiap pemberitahuan yang berasal dari Allah dan Rasul-Nya, apabila mengandung celaan (adz dzamm) maka yang dimaksud adalah tuntutan untuk meninggalkan (thalab at tarki), atau merupakan larangan (an nahy); dan apabila mengandung pujian (al mad-hu) maka yang dimaksud adalah tuntutan untuk melakukan perbuatan (thalab al fi’li).
Dan kalau pelaksanaan perbuatan yang dituntut itu menyebabkan tegaknya
hukum syara’ atau jika ditinggalkan mengakibatkan terabaikannya hukum
syara’, maka tuntutan untuk melaksanakan perbuatan itu bererti bersifat
pasti (fardlu). Jadi hadis pertama dan kedua ini menunjukkan wajibnya
Khilafah, sebab tanpa Khilafah banyak hukum syara’ akan terabaikan.
Hadis ketiga menjelaskan keharaman kaum muslimin keluar (memberontak,
membangkang) dari penguasa (as sulthan). Berarti keberadaan Khilafah
adalah wajib, sebab kalau tidak wajib tidak mungkin Nabi SAW sampai
begitu tegas menyatakan bahwa orang yang memisahkan diri dari Khilafah
akan mati jahiliyah. Jelas ini menegaskan bahawa mendirikan pemerintahan
bagi kaum muslimin statusnya adalah wajib.
Rasulullah SAW bersabda pula : "Barangsiapa membai’at seorang Imam
(Khalifah), lalu memberikan genggaman tangannya dan menyerahkan buah
hatinya, hendaklah ia mentaatinya semaksimal mungkin. Dan jika datang
orang lain hendak mencabut kekuasaannya, penggallah leher orang itu."
[HR. Muslim].
Dalam hadis ini Rasululah SAW telah memerintahkan kaum muslimin untuk
menaati para Khalifah dan memerangi orang-orang yang merebut kekuasaan
mereka. Perintah Rasulullah ini berarti perintah untuk mengangkat
seorang Khalifah dan memelihara kekhilafahannya dengan cara memerangi
orang-orang yang merebut kekuasaannya. Semua ini merupakan penjelasan
tentang wajibnya keberadaan penguasa kaum muslimin, iaitu Imam atau
Khalifah. Sebab kalau tidak wajib, nescaya tidak mungkin Nabi SAW
memberikan perintah yang begitu tegas untuk memelihara eksistensinya,
iaitu perintah untuk memerangi orang yang akan merebut kekuasaan
Khalifah.
Dengan demikian jelaslah, dalil-dalil As Sunnah ini telah menunjukkan wajibnya Khalifah bagi kaum muslimin.
Dalil Ijma’ Sahabat
Sebagai sumber hukum Islam ketiga, Ijma’ Sahabat menunjukkan bahwa
mengangkat seorang Khalifah sebagai pemimpin pengganti Rasulullah SAW
hukumnya wajib. Mereka telah sepakat mengangkat Khalifah Abu Bakar, Umar bin Khathtab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib, ridlwanullah ‘alaihim.
Ijma’ Sahabat yang menekankan pentingnya pengangkatan Khalifah,
nampak jelas dalam kejadian bahawa mereka menunda kewajiban menguburkan
jenazah Rasulullah SAW dan mendahulukan pengangkatan seorang Khalifah
pengganti beliau. Padahal menguburkan mayat secepatnya adalah suatu
kewajiban dan diharamkan atas orang-orang yang wajib menyiapkan
pemakaman jenazah untuk melakukan kesibukan lain sebelum jenazah
dikebumikan. Namun, para Sahabat yang wajib menyiapkan pemakaman jenazah
Rasulullah SAW ternyata sebagian di antaranya justru lebih
mendahulukan usaha-usaha untuk mengangkat Khalifah daripada menguburkan
jenazah Rasulullah. Sedangkan sebagian Sahabat lain mendiamkan
kesibukan mengangkat Khalifah tersebut, dan ikut pula bersama-sama
menunda kewajiban menguburkan jenazah Nabi SAW sampai dua malam,
padahal mereka mampu mengingkari hal ini dan mampu mengebumikan jenazah
Nabi secepatnya. Fakta ini menunjukkan adanya kesepakatan (ijma’)
mereka untuk segera melaksanakan kewajiban mengangkat Khalifah daripada
menguburkan jenazah. Hal itu tak mungkin terjadi kecuali jika status
hukum mengangkat seorang Khalifah adalah lebih wajib daripada
menguburkan jenazah.
Demikian pula bahawa seluruh Sahabat selama hidup mereka telah
bersepakat mengenai kewajiban mengangkat Khalifah. Walaupun sering
muncul perbedaan pendapat mengenai siapa yang tepat untuk dipilih dan
diangkat menjadi Khalifah, namun mereka tidak pernah berselisih pendapat
sedikit pun mengenai wajibnya mengangkat seorang Khalifah, baik ketika
wafatnya Rasulullah SAW maupun ketika pergantian masing-masing
Khalifah yang empat. Oleh karena itu Ijma’ Sahabat merupakan dalil yang
jelas dan kuat mengenai kewajiban mengangkat Khalifah.
Dalil Dari Kaidah Syar’iyah
Ditilik dari analisis usul fiqh, mengangkat Khalifah juga wajib.
Dalam usul fikih dikenal kaidah syar’iyah yang disepakati para ulama:
"Sesuatu kewajiban yang tidak sempurna kecuali adanya sesuatu, maka sesuatu itu wajib pula keberadaannya."[rujukan?]
Menerapkan hukum-hukum yang berasal dari Allah SWT dalam segala
aspeknya adalah wajib. Sementara hal ini tidak dapat dilaksanakan dengan
sempurna tanpa adanya kekuasaan Islam yang dipimpin oleh seorang
Khalifah. Maka dari itu, berdasarkan kaidah syar’iyah tadi, eksistensi
Khilafah hukumnya menjadi wajib.
Jelaslah, berbagai sumber hukum Islam tadi menunjukkan bahwa
menegakkan Daulah Khilafah merupakan kewajipan dari Allah SWT atas
seluruh kaum muslimin.
Pendapat Para Ulama
Seluruh imam mazhab dan para mujtahid besar tanpa kecuali telah
bersepakat bulat akan wajibnya Khilafah (atau Imamah) ini. Syaikh
Abdurrahman Al Jaziri menegaskan hal ini dalam kitabnya Al Fiqh ‘Ala Al Madzahib Al Arba’ah, jilid V, hal. 416:
- "Para imam mazhab (Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad) --rahimahumullah-- telah sepakat bahwa Imamah (Khilafah) itu wajib adanya, dan bahawa ummat Islam wajib mempunyai seorang imam (khalifah,) yang akan meninggikan syiar-syiar agama serta menolong orang-orang yang tertindas dari yang menindasnya..."
Tidak hanya kalangan Ahlus Sunnah saja yang mewajibkan Khilafah,
bahkan seluruh kalangan Ahlus Sunnah dan Syiah (termasuk Khawarij dan
Mu’tazilah) tanpa kecuali bersepakat tentang wajibnya mengangkat seorang
Khalifah. Kalau pun ada segelintir orang yang tidak mewajibkan
Khilafah, maka pendapatnya itu tidak perlu dianggap, karena bertentangan
dengan nas-nas syara’ yang telah jelas.
Imam Asy Syaukani dalam Nailul Authar jilid 8 hal. 265
menyatakan: "Menurut golongan Syiah, minoritas Mu’tazilah, dan Asy
A’riyah, (Khilafah) adalah wajib menurut syara’." Ibnu Hazm dalam Al Fashl fil Milal Wal Ahwa’ Wan Nihal
juz 4 hal. 87 mengatakan: "Telah sepakat seluruh Ahlus Sunnah, seluruh
Murji`ah, seluruh Syi’ah, dan seluruh Khawarij, mengenai wajibnya
Imamah (Khilafah)."
Bahwa Khilafah adalah sebuah ketentuan hukum Islam yang wajib (bukan
haram apalagi bid’ah) dapat kitab temukan dalam khazanah Tsaqafah
Islamiyah yang sangat kaya. Berikut ini sekelumit saja referensi yang
menunjukkan kewajiban Khilafah: Imam Al Mawardi, Al Ahkamush
Shulthaniyah, hal. 5, Abu Ya’la Al Farraa’, Al Ahkamush Shulthaniyah,
hal.19, Ibnu Taimiyah, As Siyasah Asy Syar’iyah, hal.161, Ibnu Taimiyah,
Majmu’ul Fatawa, jilid 28 hal. 62, Imam Al Ghazali, Al Iqtishaad fil
I’tiqad,hal. 97, Ibnu Khaldun, Al Muqaddimah, hal.167, Imam Al Qurthubi,
Tafsir Al Qurthubi, juz 1 hal.264, Ibnu Hajar Al Haitsami, Ash
Shawa’iqul Muhriqah, hal.17, Ibnu Hajar A1 Asqallany, Fathul Bari, juz
13 hal. 176, Imam An Nawawi, Syarah Muslim, juz 12 hal. 205, Dr.
Dhiya’uddin Ar Rais, Al Islam Wal Khilafah, hal.99, Abdurrahman Abdul
Khaliq, Asy Syura, hal.26, Abdul Qadir Audah, Al Islam Wa Audla’una As
Siyasiyah, hal. 124, Dr. Mahmud Al Khalidi, Qawaid Nizham Al Hukum fil
Islam, hal. 248, Sulaiman Ad Diji, Al Imamah Al ‘Uzhma, hal.75, Muhammad
Abduh, Al Islam Wan Nashraniyah, hal. 61, dan masih banyak lagi yang
lainnya.
Namun ada pula buku yang menyatakan bahwa kekhalifahan tidak wajib hukumnya, seperti Al Islam Wa Usululul Hukm oleh Ali Abdur Raziq, Mabadi` Nizham Al Hukmi fil Islam oleh Abdul Hamid Mutawalli, Tidak Ada Negara Islam oleh Nurcholish Madjid.
sumber: http://www.kabarislam.com/sejarah-islam/sejarah-ke-khalifahan-islam
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar